Minggu, 13 Maret 2016

Tugas Sejarah Menganalisis Sekitar Proklamasi oleh kelompok 10

1)    Reaksi masyarakat Indonesia menyambut proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
   Setelah Proklamasi berhasil dirumuskan dan dibacakan Bung Karno berpesan kepada para pemimpin yang bekerja di pers dan kantor berita terutama BM. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkan ke seluruh dunia. Alat komunikasi utama yang dipergunakan untuk menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia saat itu adah radio. Pada tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio Kantor Waidon B. Polenewen dari seorang wartawan Donei yaitu Syahrudin. Setelah itu, F. Wus (seorang markonis) menyiarkan proklamasi berturut-turut setiap setengan jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti walaupun dilarang oleh pihak Jepang. Jepang menentang upaya penyiaran tersebut, bahkan pimpinan  tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita proklamasi dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar radio disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Para pemuda akhirnya membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa orang teknisi radio dari Kantor Berita Domchi. Di Menteng 31 pemuda berhasil merakit pemancar baru dengan kode panggilan DJKI. Selain melalui siaran radio berita proklamasi juga disiarkan melalui surat kabar.Diantaranya “Suara Asia “ di Surabaya dan “Cahaya” di Bandung. Karena alat komunikasi yang terbatas Informasi mengenai kemerdekaan Indonesia ke daerah tidak secepat di Jakarta. Bahkan saat itu sebagian rakyat di daerah tidak percaya setelah mendengar pemberitaan melalui radio mengenai kemerdekaan Indonesia. Barulah pada bulan September 1945 Proklamasi diketahui di wilayah terpencil di Indonesia. Para pemuda dengan semangatnya sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan untuk menyambut proklamasi kemerdekaan 1945 di berbagai daerah di Indonesia.
   Dalam menyambut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, rakyat mengartikan bahwa Bangsa Indonesia telah bebas dari penjajahan, oleh karena itu hal-hal yang menyangkut tentang keamanan dan pemerintahan negara Indonesia itu menjadi tanggung jawab Bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu maka para pemuda berusaha mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang dengan sasaran :
1.    Menduduki kantor-kantor pemerintah
2.    Menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikan dengan bendera Merah Putih
3.    Pencarian senjata dan alat perang dan menjaga kemungkinan segala hal, yang ingin menggagalkan kemerdekaan.

Sambutan di berbagai daerah :
1.    Rapat Raksasa di Lapangan IKADA
   Berlokasi di Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) di sebelah selatan Lapangan Monas. Pada tanggal 19 September 1945, rakyat Jakarta yang dipelopori oleh para pimpinan Komite Van Aksi untuk memperingati 1 bulan Proklamasi Kemerdekaan, mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada dengan tujuan para pemimpin Bangsa Indonesia dapat berbicara langsung di hadapan rakyat Indonesia. Rakyat telah siap menunggu perintah dan tugas-tugas selanjutnya dalam rangka mendukung dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jepang yang sebelumnya telah diultimatum oleh Sekutu, bahwa Jepang tidak boleh merubah status quo, maka Jepang akhirnya melarang rapat tersebut. Agar tidak terjadi berontak senjata antara Bangsa Indonesia dengan prajurit Jepang yang telah menjaga ketat lapangan IKADA, maka Bung Karno hanya menyampaikan pidato singkat, pidato tersebut berisi kepercayaan rakyat terhadap para pimpinan bangsa dan massa dipersilahkan untuk kembali dengan tertib dan tenang.
   Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa rakyat dengan sadar berjuang mempertahankan kemerdekaan yang semakin lama semakin kuat dengan suatu tekad “Merdeka atau Mati”. Rapat raksasa di Lapangan IKADA hanya berlangsung beberapa menit, tetapi berhasi mempertemukan rakyat dengan pemerintah Republik Indonesia.
Makna Rapat Raksasa di Lapangan IKADA:
i.    Rapat tersebut berhasil mempertemukan pemerintah Republik Indonesia dengan rakyatnya.
ii.    Rapat tersebut merupakan perwujudan kewibawaan pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat.
iii.    Menanamkan kepercayaan diri bahwa Rakyat Indonesia mampu mengubah nasib dengan dengan kekuatan sendiri.
iv.    Rakyat mendukung pemerintah yang baru terbentuk. Buktinya, setiap instruksi pimpinan mereka laksanakan.

2.    Insiden Bendera di Hotel Yamato
   Di Surabaya, tanggal 11 September 1945 para pemuda mengadakan rapat umum di Pasar Turi dan dilanjutkan dengan perebutan senjata di markas-markas tentara Jepang di seluruh kota di Surabaya. Tanggal 19 September 1945 terjadi insiden bendera di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit Surabaya) di Jalan Tunjungan no. 65 Surabaya, yang disebabkan oleh orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki Hotel Yamato dibantu oleh RAPWI (Rehabilitation Allied Prisoners of War and Interness) dan mengibarkan bendera Belanda di puncak hotel tersebut. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W. V. Ch Ploegman pada malam hari tanggal 19 September 1945 pukul 21.00 mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya marah kemudian menyerbu hotel, karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang saat itu sedang berlansung di Surabaya. bendera Belanda diturunkan dan dirobek birunya untuk dikibarkan sebagai bendera Merah Putih.
   Kabar tersebut tersebar cepat di Seluruh Kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa yang diwarnai amarah. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa tenatara Jepang berjaga-jaga untuk mengendaliak situasi tak stabil tersebut.
   Insiden Hotel Yamato memiliki peranan penting dalam perang Kemerdekaan Indonesia. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik di militer Indonesia dan Inggris maupun sipil dipihak Indonesia. Akhirnya Jendral D. C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata. Gencatan senjata tersebut gagal dan ditambah dengan matinya Brigadir Jendral Mallaby, berakibat pada dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris dan terjadinya pertempuran 10 November yang terbesar dan terberat dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia dan ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
3.    Di Yogyakarta
   Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta sebagai Daerah Istimewa “Republik Indonesia”. Sejak saat itu para pegawai (bangsa Indonesia) dari instansi pemerintah maupun perusahaan Jepang mogok, menuntut agar Jepang menyerahkan semua kantor kepada orang Indonesia.
4.    Di Bandung
   Tanggal 9 Oktobre 1945, terjadi berontak antara para pemuda dengan tentara Jepang ketika berusaha merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata ACW (Artiller ContruktieWinkel).
5.    Di Makassar
   Tanggal 27 Oktober 1945 para pemuda bersatu menyerang obyek-obyek yang diduduki oleh NICA yang dibantu oleh Australia, sehingga serangan pemuda gagal.
6.    Di Sulawesi Utara
   Tanggal 14 Februari 1946 pemuda KNIL yang tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia mengadakan gerakan di tangsi hitam, tangsi putih di Keling Manado dan juga menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tondano.
7.    Di Kutaraja (Banda Aceh)
   Terjadi pada tanggal 6 Oktober 1945 para pemuda membentuk Angkata Pemuda Indonesia (API), mengibarkan bendera merah putih dan mengambil alih kekuasaan terhadap kantor-kantor milik Jepang.
8.    Di Medan
    Berita tentang kemerdekaan dibawa oleh Gubernur yaitu Teuku Moh. Hassan. Mendengar berita ini, segera para pemuda yang dipelopori oleh Achmad Tahir membentuk Barisan Pemuda Indonesia, yang kemudian pada tanggal 4 Oktober 1945 berusaha mengambil alih gedung-gedung pemerintah dan merebut senjata dari tangan Jepang.
9.    Di Padang
    Organisasi Balai Penerangan Pemuda Indonesia dibentuk di bawah pimpinan Ismail Lengah. Sedangkan di Bukit Tinggi dibentuk Organisasi Pemuda Indonesia/Pemuda Republik Indonesia, keduanya mempelopori perebutan kekuasaan dari tangan Jepang.
10.    Di Palembang
   Tanggal 22 Agustus Dr. A.K. Gani memprakarsai pertemuan sebagai persiapan untuk mengambil alih kekuasaan Drg. M. Isa membentuk Komite Nasional Indonesia, Hasan Kasim dan Bambang Utoyo membentuk Penjaga Keamanan Rakyat, Milan membentuk Barisan Pemuda Republik Indonesia.
11.    Di Banjaramasin
   Tanggal 16 Oktober 1945, rakyat melakukan rapat umum untuk meresmikan berdirinya Pemerintah RI Daerah Kalimantan Selatan. 9 November 1945 perlawanan terhadap Sekutu diadakan, dengan membakar rumah penjara tempat menahan para pejuang.
12.    Di Pontianak
   Para pemuda mantan Heiho dan Bogodan (pembantu polisi membentuk Badan Penjaga Keamanan) pada Agustus 1945.
13.    Di Singaraja, Bali
   Pemuda membentuk Angkatan Muda Indonesia (AMI) dan Pemuda Republik indonesia (PRI) pada Agustus 1945 yang kemudian mengadakan serangan-serangan terhadap asrama militer Jepang meskipun dapat digagalkan oleh Jepang.
14.    Di Gorontalo
   Setelah berhembus berita kekalahan Jepang terjadi perebutan kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang, dan ketika tentara Australia memasuki kota, mereka menolak berdamai.
15.    Di Biak
   Para pemuda menyerbu kamp NICA dan Tangsi Sorido pada tanggal 14 Maret 1948 yang mengakibatkan serbuan gagal, dua orang pemimpin ditangkap dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup.
2)    AGRESI MILITER BELANDA II DI BOYOLALI
     Desa Kebonbimo merupakan markas Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II/Kompi I yang dipimpin oleh Sunardi (Kebo). Anggotanya tersebar di wilayah Desa Kebonbimo dan Ngargosari. Sedangkan Seksi I yang dipimpin oleh Soeyono para anggotanya tersebar di Desa Metuk, Dlingo dan Mudal. Kompi I SA/CSA yang dipimpin oleh Muktio bermarkas di Timur Desa Pager tepatnya di Dukuh Kentengsari, Desa Kener yang masuk wilayah dari Kabupaten Semarang (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:5). Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SA/CSA dari Kompi I yang meliputi Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, Seksi II di Desa Kebonbimo maupun pasukan Staf Kompi yang bermarkas di Dukuh Kentengsari Desa Kener (Timur Desa Pager) yang masuk dalam wilayah kabupaten Sema-rang. Dengan seringnya Dukuh Tlatar digu-nakan sebagai tempat berkumpul, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa Tlatar sebagai markas resmi dari Pasukan SA/CSA Kompi I pimpinan Muktio. Karena sebetul-nya hanya dari Seksi II yang bemarkas di Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17).
     Desa Kebonbimo menjadi incaran Tentara Belanda karena mengira bahwa markas Kompi I dari Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh Tlatar. Karena Desa Kebonbimo terletak paling belakang dibandingkan desa-desa yang ditempati selain dari Seksi II, yang lainnya terletak dekat dengan kota Boyolali. Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo sering didatangi teman-teman dari Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, maupun pasukan eks Pesindo untuk mandi atau berenang karena ada mata air yang jernih dan melimpah. Selama masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo diserang Belanda sebanyak 3 kali. Pada serangan yang pertama pasukan Belanda menghujani mortir dari luar Desa Kebonbimo. Serangan yang kedua Tentara Belanda berhasil dipukul mundur karena Tentara Pelajar SA/CSA sudah mengetahui dan bersiap ketika pasukan Belanda sudah sampai di pinggir Desa Kebonbimo. Serangan ketiga terjadi pada dini hari kurang lebih pukul 04.00 WIB (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:71-72). Untuk serangan yang ketiga kalinya, Tentara Belanda sudah masuk Desa Kebonbimo dan membangun-kan Tentara Pelajar SA/CSA yang dikenal dengan “TNI Bangun”. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 14 Juli 1949 dini hari, pasukan Belanda menyerang dari Boyolali melewati Dukuh Karang Tengah, Kebonbi-mo, dan Gatak yang datang dari arah Desa Kiringan. Setelah terjadi kejar-kejaran dari arah Barat Desa Kebonbimo setelah sampai di lapangan Dukuh Tlatar terjadi insiden tembak menembak antara pasukan Belanda dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang dibantu oleh masyarakat Tlatar dan sekitarnya. Peristiwa ini dikalangan masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya dinamakan dengan “Perang Pruputan” (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17).
PERAN MASYARAKAT KEBONBIMO DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN TENTARA PELAJAR SA/CSA
Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo dibentuk Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa). Karena Desa Kebonbimo termasuk daerah yang maju dan aktif dibandingkan desa-desa disekitarnya dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II, sehingga pemerintah Desa Kebonbimo membentuk pasukan gerilya desa (Pager Desa). Pager Desa bertugas sebagai keamanan desa atau memperluas dan memperdalam pertahanan keamanan ditingkat desa, kegiatan utama mengkoordinasi kegiatan sistem keamanan lingkungan (siskampling) di seluruh wilayah Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014).
Pemerintah Desa Kebonbimo mem-buat badan pertahanan desa yang berfungsi selain untuk keamanan di dalam desa dan umumnya diperbantukan untuk tenaga cadangan pasukan tentara untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia. Sistem perekrutan untuk menja-di anggota Pager Desa Kebonbimo ialah dengan cara memanfaatkan para pemuda disetiap dukuh di wilayah Desa Kebonbimo. Rata-rata setiap dukuh ada 2 orang pemuda yang ditunjuk menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo, yang sebelumnya sudah diseleksi oleh petugas dari pemerintah Desa Kebonbimo. Namun, jika dalam satu dukuh terdapat banyak pemuda maka tidak menutup kemungkinan lebih dari 2 orang yang ditunjuk sebagai perwakilan. Bayan Suroso ditugaskan pemerintah Desa Kebonbimo untuk menunjuk pemuda-pemuda di setiap dukuh yang memenuhi persyaratan menjadi anggota Pager Desa seperti yang diutamakan mempunyai pengalaman dalam ilmu kemiliteran dan belum menikah contohnya: dapat baris berbaris, mampu dalam menggunakan senjata, dan mampu bekerja sama secara kelompok. Pager Desa Kebonbimo mempunyai anggota kurang lebih 30 orang (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Setelah terbentuk dan disahkan oleh pemerintah militer tingkat Kecamatan dengan disaksikan oleh Kepala Desa, anggota Pager Desa Kebonbimo diberi pembekalan di Balai Desa tentang fungsi maupun tugas yang akan dilakukan beserta jadwal gerilya yang sudah dibagi dalam bentuk kelompok. Pada masa Agresi Militer Belanda II selain sudah dibentuk Pager Desa, di Desa Kebonbimo juga terdapat kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA, dan ada kesatuan yang lainnya seperti: Pasukan eks Pesindo, dan ada juga dari Kepolisian (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014).
Selama masa Agresi militer Belan-da II pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Desa Kebonbimo beserta Pager Desa yang dibentuk oleh pemerintah Desa Kebonbimo sering mengadakan pengha-dangan iring-iringan pasukan Belanda yang datang dari di jalan raya arah Salatiga-Solo atau sebaliknya di Jembatan darurat Kenteng. Usaha yang dilakukan yaitu melakukan pembongkaran jembatan yang bagian-bagiannya masih terbuat dari kayu menggunakan peralatan seadanya (Wa-wancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Dalam sambutan dari sesepuh (orang yang dituakan) Eks Tentara Pelajar SA/CSA pada peresmian gedung SMA Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar mengatakan bahwa betapa besar bantuan serta du-kungan masyarakat Tlatar dan sekitarnya kepada Tentara Pelajar SA/CSA para peju-ang gerilya. Semua itu diberikan dengan secara tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dengan dibuktikannya para Tentara Pelajar SA/CSA sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, rumah dibukakan untuk berlindung dari ancaman Tentara Belanda dan makanan yang sudah pas-pasan disisihkan untuk Tentara Pelajar SA/CSA tanpa menghitung apa dan berapa yang sudah diberikan dengan tulus ikhlas (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:7).
Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi salah satu daerah yang dijadikan markas Tentara Pelajar SA/CSA. Untuk makan dan tempat tinggal dibantu oleh masyarakat Desa Kebonbimo. Masyarakat bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan bagi Tentara Pelajar SA/CSA terutama dalam hal makan dan tempat tinggal. Dari pemerin-tah Desa Kebonbimo, selain Kepala Desa dan Perangkat Desa juga sudah menunjuk dan membagi kepada warga masyarakat yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA. Di Desa Kebonbimo hanya 3 Dukuh yakni: Tlatar, Gatak, dan Kebonbimo yang terlihat secara kebetulan masyarakatnya dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA sehingga tidak membebankan kepada rakyat yang tidak mampu. Ada 5 keluarga di setiap dukuh yang ditunjuk Kepala Desa Kebonbimo yaitu Citro Budoyo, diutamakan yang berketempatan untuk bertanggung jawab memberi makan dan menyediakan tempat tinggal. Kepala Desa bertanggung jawab untuk 10 Tentara Pelajar SA/CSA, Perang-kat Desa bertanggung jawab untuk 5 Tentara Pelajar SA/CSA, sedangkan untuk masyarakat biasa maupun Modin (tokoh agama) bertanggung jawab untuk 2 sampai 3 orang Tentara Pelajar SA/CSA (Wawancara dengan Henri Sugiman 5 Oktober 2013).
Perang gerilya Tentara Pelajar SA/CSA berhasil karena dukungan penuh dari rakyat yang berjuang tanpa pamrih, tanpa imbalan uang, malah seringkali mengalami resiko balas dendam dari Tentara Belanda berupa penyiksaan, pembakaran rumah-rumah desa serta perampasan harta benda mereka. Dalam bidang komunikasi peranan masyarakat Desa Kebonbimo sangatlah penting, salah satunya ialah menjadi mata-mata untuk para Tentara Pelajar SA/CSA. masyarakat mengenal dengan sebutan “Cenguk” (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Pada masa Agresi Militer Belanda II, Untuk menjaga kesehatan masyarakat Desa Kebonbimo seringkali membuat ramuan sendiri untuk mengobati penyakitnya dengan cara tradisional. Mereka menggunakan daun-daunan yang mereka temukan di alam sekitar, meskipun pengetahuan mengenai obat-obatan sangat terbatas, hanya sebatas pertolong-an pertama. Penyakit yang sering menye-rang para Tentara Pelajar SA/CSA adalah gatal dan banyak kutu-kutu, untuk meng-obati gatal-gatal seperti kudis menggu-nakan Belerang (“Lirang” dalam Bahasa Jawa), dengan cara Belerang ditumbuk lalu dicampurkan dengan air dibuat untuk mandi karena pada masa itu para Tentara Pelajar SA/CSA pakaiannya terbatas (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014).
KESIMPULAN
Selama masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Desa Kebonbimo, Keca-matan Boyolali, Kabupaten Boyolali mem-punyai peran penting dalam keterlibatan mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah Belanda. Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi markas dari pasukan Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II/Kompi I yang di pimpin oleh Sunardi (Kebo) dan juga terdapat kesatuan dari eks Pesindo dan Kepolisian. Masyarakat Desa Kebonbimo dengan Tentara Pelajar SA/CSA dan kesa-tuan lainnya, saling bekerja sama dalam menghadapi penjajah (tentara Belanda). Salah satunya yaitu masyarakat dengan Tentara Pelajar SA/CSA mengadakan aksi penghadangan di Jembatan darurat Kenteng dengan cara membongkar jembatan yang masih terbuat dari kayu dengan menggunakan peralatan seadanya.
Desa Kebonbimo mendapat se-rangan secara besar-besaran dari pasukan Belanda sebanyak 3 kali dan untuk peristiwa serangan yang ketiga kalinya pada tanggal 14 Juli 1949, kurang lebih sekitar pukul 04.00 WIB yang dipusatkan di lapangan Dukuh Tlatar. Di kalangan masyarakat peristiwa ini dikenal dengan “Perang Pruputan”. Selama masa Agresi Militer Belanda II peran masyarakat Desa Kebonbimo dalam mendukung perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada tahun 1948-1949 diantaranya ikut serta menjadi anggota pasukan gerilya Desa Kebonbimo (Pager Desa Kebonbimo), sebagai penyedia jasa-jasa pendukung peperangan seperti memenuhi kebutuhan logistik, tempat tinggal, obat-obatan dan sebagai mata-mata.

3)    Proses Terbentunya NKRI dari proklamasi hingga akhir 1945
       Sebagai negara yang baru lahir, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Dasar
yang berfungsi untuk mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
dalam rangka pembentukan negara dan pemerintahan Republik Indonesia maka
panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia melakukan beberapa langkah sebagai
berikut
I.    Dalam sidang yang berlangsung tanggal 18 Aagustus 1945 menghasilkan keputusan sebagai berikut.
i.    Mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik indonesia yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis, dirancang oleh BPUPKI tanggal 10-16 Juli 1945 dalam sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Rancangan UUD tersebut kemudian dibawa ke sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 untuk dibahas. Sebelum PPKI mengesahkan rancangan UUD, Soekarno dan Hatta menugaskan Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singadimejo, dan Mr. Teuku Moh. Hassan untuk membahas rancangan Pembentukan Undang-Undang Dasar. Rancangan tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Namun, rancanga tersebut telah menimbulkan keberatan dari sejumlah pihak karena adanya kalimat yang dianggap membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Atas usul Drs. Moh. Hatta, rancangan UUD tersebut mengalami beberapa perubahan, antara lain sebagai berikut
a.    Dalam pembukaan UUD terdapat kalimat yang semula berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya”. Diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.    Dalam Bab III Pasal 6 yang sebelumnya menyatakan bahwa presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam, diubah menjadi presiden adalah orang Indonesia asli.
Setelah rancangan UUD tersebut selesai dimusyawarahkan kemudian
Disahkan menjadi UUD Republik Indonesia yang kemudian dikenal
Dengan UUD 1945. Dengan demikian bahwa sehari setelah proklamasi
Bangsa Indonesia telah memiliki landasan negara yang merupakan
Landasan bagi jalannya pemerintahan.
Pengesahan UUD 1945 yang diumumkan dalam Berita Republik
Indonesia tahun ke-2 No. 7  Tahun 1946, halaman 45-48.
Usaha yang telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
mempunyai sistematika sebagai berikut:
a.    Pembukaa (mukadimah) yang meliputi empat alenia
b.    Batang tubuh UUD yang merupaka isi dan terdiri atas 16 bab, 37 pasal 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 Ayat aturan Tambahan
c.    Pembukaan UUD yang terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
ii.    Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama
Pemilihan Presiden beserta wakilnya pertama kali dilakukan oleh PPKI. Hal itu sejalan dengan ketentuan pada Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi: “Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan dipilih oleh PPKI”. Dalam sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Otto Iskandardinata mengusulkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara aklamasi. Beliau juga mengusulkan agar Ir. Soekarno menjadi Presiden dan Moh. Hatta menjadi Wakil Presiden. Usulan tersebut disetujui oleh anggota PPKI sehingga PPKI kemudian memilih dan menetapkan kedua tokoh itu masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden RI diiringi oleh lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh peserta sidang secara spontan.
iii.    Sebelum terbentunya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional.
II.    Dalam sidangnya yang berlangsung 19 Agustus 1945menghasilkan keputusan sebagai berikut
i.    Pembagian wilayah menjadi 8 Provinsi
   Dalam sidang tanggal 19 Agustus 1945, PPKI telah menetapkan pemerintah RI untuk sementara waktu dibagi dalam delapan provinsi, masing-masing dikepalai oleh gubernur. Untuk membahas pemerintahan tersebut, Presiden Soekarno membentuk Panitia kecil, yang beranggotakan : Otto Iskandardinata, Subarjo, Sayuti melik, Iwa Kusumasumantri, Wiranata Kusumah, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr. Ratulangi, dan Ktut Puja. Kedelapan provinsi dan gubernurnya :

1.    Barat : Sutarjo Kartohadikusuma
2.    Jawa Tengah : R. Pamji Suroso
3.    Jawa Timur : R. A. Suryo
4.    Sunda Kecil (Nusa Tenggara) : Mr. I. Gusti Ktut Puja
5.    Maluku : Sumatera : Mr. Teuku Moh. Hassan
6.    Jawa Mr. J. Latuharhary
7.    Sulawesi : Dr. G.S.S.J. Ratulangi
8.    Borneo : Ir. Pangeran Mohammmad   Noor

Daerah provinsi dibagi menjadi beberapa karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Daerah.
ii.    Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat dan Daerah
   Dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menegaskan perlunya pembentukan Komite Nasional sebelum MPR dan DPR terbentuk. Maka, pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI mengadakan sindang di Gedung Kebangkitan Rakyat Jawa Jakarta. Salah satu keputusannya adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia. Badan ini sebagai DPR sebelum pemilu diselenggarakan. KNIP terdiri atas Komite Nasional Indonesia Pusat yang berada di Jakarta dan Komite Nasional Indonesia Daerah di tiap provinsi.Pembentukan KNIP secara resmi diumumkan oleh pemerintah tanggal 25 Agustus 1945. Beranggotakan 135 orang yang secara resmi dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Mr. Kasman Singodemejo (Ketua), Sutardjo Kartohadikusuma (Wk. Ketua I), Johanes Latuharhary(Wk. Ketua II), Adam Malik (Wk. Ketua III). KNIP menyelenggarakan sidang pada tanggal 16 Oktober 1945 di Gedung Balai Muslimin Jakarta. Pada sidang tersebut Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden yang berisi tentang pemberian tugas dan wewenang kepada KNIP sebagai badan legislatif dan ikut serta dalam menetapkan GBHN serta membentuk Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) yang diketuai oleh Sutan Syahrir dan beranggotakan 15 orang.
iii.    Pembentukan Kabinet    PPKI menyelenggarakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945 menghasilkan keputusan untuk membentuk 12 kementrian dalam kabinet, 4 kementrian, dan 4 lembaga tinggi negara. Serta membentuk panitia kecil guna membahas penyusunan kementrian, yang diketuai oleh Ahmad Soebarjo, Sutarjo kartohadikusuma, dan Kasman Singodimejo. Sistem pemerintahan yang dianut saat itu adalah sistem presidensial maka presiden berhak membentuk kabinet. Tanggal 2 September 1945 Presiden resmi melantik kabinet RI yang pertama di Hotel Myako (Des Indes).
1.    Dep. Dalam Negeri : R.A.A Wiranata Kusumah
2.    Dep. Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo
3.    Dep. Kehakiman : Prof. Dr. Mr. Supomo
4.    Dep. Keuangan : Mr. A.A. Maramis
5.    Dep. Kemakmuran : Surachman Cokroadisurjo
6.    Dep. Kesehatan:Dr. Buntaran Martoatmojo
7.    Dep. Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
8.    Dep. Sosial : Iwa Kusumasumantri
9.    Dep. Pertahanan : Supriyadi
10.    Dep. Perhubungan : Abikusno Tjokrosuyoso
11.    Dep. Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosuyoso
12.    Dep. Penerangan : Mr. Amir Syariffudin
13.    Menteri Negara : Wachid Hasyim
14.    Menteri Negara : M. Amir
15.     Menteri Negara : R. Otto Iskandardinata
16.    Menteri Negara : R. M. Sartono
17.    Ketua Mahkamah Agung : Dr. Mr. Kusumaatmaja
18.    Jaksa Agung : Mr. Gatot. Tatunamiharja
19.    Sekretasris Negara : Mr. A.G. Pringgodigdo
20.    Juru Bicara Negara : Soekarjo Wiryopranoto
iv.    Pembentuka Partai Politik
   Berdasarkan Maklumat pemerintah No. 3 tanggal 3 November 1945, pemerintah menganjurkan dibentuknya partai politik. Hal tersebut mendapat tanggapan positif dari para tokoh politik Indonesia dan segera mendaftarkan partainya sebagai aprtai politik nasional. Dinataranya sebagai berikut :

1.    Partai Nasional Indonesia (PNI)
2.    Persatuan Rakyat Merhaen Indonesia (PERMAI)
3.    Partai Komunis Indonesia (PKI)
4.    Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi)
5.    Partai Buruh Indonesia (PBI)
6.    Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
7.    Partai Sosialis Indonesia (PSI)
8.    Partai Khatolik Republik indonesia




v.    Pembentukan Badan Perjuangan yang berkembang menjadi TNI
Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertugas untuk menjaga keamanan di bawah koordinasi KNIP. Anggota BKR terdiri dari amanat anggota PETA, KNIL, Kei Satsusai, Seinendan, dan Keibodan. BKR dalam perkembangannya bertugas menjaga keamanan negara dari serangan pasukan NICA yang membonceng Sekutu dan ingin menguasai kembali wilayah NKRI. Mayor Urip Sumohardjo (pensiunan KNIL) menyusun Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945 di Yogyakarta dengan memilih Supriyadi (pemimpin PETA Blitar). Supriyadi tidak datang tanggal 12 Oktober 1945, sehingga TKR mengadakan rapat dan memilih Kolonel Sudirman (Komandan Div 5/Banyumas)sebagai pemimpin TKR dan mengangkatnya sebagai jendral. TKR dalam perkembangannya mengalami perubahan nama terkait pengembangan tugas dan tanggung jawab yang dimilikinya. Tentara Keselamatan Rakyat  (TKR) diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 1 Januari 19456. Pada tanggal 24 Januari 1946 diganti menadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Dan pada tanggal 3 Juni 1947 diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia.



Anggota Kelompok :
Rizki Qonitati C.C (28)
Safitri Anis (29)
Siska Andriyani (30)
 


Referensi :
http://sugionosejarah.blogspot.co.id/2015/05/sambutan-dan-makna-proklamasi.html?m=1.
https://ronnytriasmara.wordpress.com/2012/05/28/reaksi-rakyat-terhadap-proklamasi-kemerdekann/
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Rapat_Raksasa_Lapangan_Ikada
http://wartasejarah.blogspot.co.id/2013/12/proses-terbentuknya-negara-kesatuan,html?m=1




0 komentar:

Posting Komentar