Selasa, 10 Mei 2016

PDRI Sebagai Penjaga Eksistensi RI



Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berdiri pada 22 Desember 1948 di Sumatera Barat merupakan salah satu mata rantai bangsa Indonesia memperjuangkan tegaknya proklamasi 17 Agustus 1945. PDRI yang lahir menyusul ditangkapnya Bung Karno dan Bung Hatta serta para pemimpin republik di Yogyakarta, tepat pada saat militer Belanda melancarkan agresi kedua pada 19 Desember 1948, menandai salah satu fase terpenting dalam sejarah survival Republik Indonesia menghadapi Belanda yang berkeinginan kuat menjajah kembali Indonesia. Sebagai sebuah pemerintahan darurat (emergency government), PDRI menyelenggarakan pemerintahan dengan cara berpindah-pindah di wilayah Propinsi Sumatera Tengah (kini Sumatera Barat) selama sekitar delapan bulan (22 Desember 1948-13 Juli 1949).
PDRI dipimpin oleh Menteri Kemakmuran Mr Syafrudin Prawiranegara, yang membentuk pemerintahan darurat setelah Presiden Soekarno memberikan mandat kepadanya lewat surat telegram tetapi tidak pernah sampai ke tangannya. Bersama sejumlah tokoh republik di Sumatera Tengah, seperti Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, dan lain-lain, PDRI mampu bertahan bahkan mampu memperkuat kedudukannya di mata dunia internasional semasa para pemimpin RI dipenjara oleh Belanda di Bangka. Meski demikian, ada sejumlah friksi yang menyertai masa pemerintahan PDRI, sebuah friksi antar elit politik yang memiliki konsekuensi mendalam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
KRONOLOGIS SEPUTAR PDRI
19 Desember 1948
Yogyakarta dan Bukittinggi diserang oleh Belanda, secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan Pemerintah Darurat untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Pada saat yang sama Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengadakan rapat darurat dengan para pemimpin di Bukittinggi dan mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.
20 Desember 1948
Rapat-rapat dilakukan di Bukittinggi, sementara arus pengungsi keluar kota mulai terjadi. Kepala Staf AURI Komodor H. Soejono memerintahkan penyelamatan dua Stasiun Radio PHB AURI dengan membawanya ke Halaban (Payakumbuh Selatan) dan Piobang, Stasiun Radio tersebut adalah :
a. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III Luhukay.
b. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III M.S. Tamimi.
21 Desember 1948
Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya mengungsi ke Halaban. Kepala Kepolisian Sumatera Barat , Komisaris Sulaiman Efendi dan sejumlah pemimpin menyingkir ke Lubuk Sikaping, Pasaman. Stasiun Radio AURI pimpinan Lahukay tiba Halaban, tetapi tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan di Halaban. Stasiun Radio Pemancar pimpinan M. Jacob Loebis sampai di Piobang, Payakumbuh untuk seterusnya dibawa ke Koto Tinggi, tengah malam Kota Bukittinggi dibumihanguskan.
22 Desembar 1948
Pembentukan Kabinet PDRI di Halaban. Stasiun Radio PHB AURI Pimpinan Tamimi diserahkan oleh Komondor H. Soejono Kepala PDRI (Sjafruddin Prawiranegara) untuk melayani komunikasi radio Mr. Sjafruddin Prawiranegara beserta rombongannya. Stasiun Radio itu ikut serta bergerilya hingga ke tempat pengungsian di Bidar Alam.
23 Desembar 1948
Stasiun Radio Tamimi di Halaban untuk pertama kali dapat berhubungan dengan Stasiun Radio AURI yang lain, baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera (Ranau, Jambi, Siborong-Borong dan Kotaraja). Sjafruddin Prawiranegara merasa gembira menerima laporan tes kemampuan Stasiun Radio PDRI, dan memngumumkan berdirinya PDRI.
24 Desembar 1948
Menjelang Subuh, rombongan PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Halaban menuju Pekan Baru, melalui Lubuk Bangku dan Bakinang. Stasiun Radio Tamimi dengan semua peralatan pengirim dan penerima ditempatkan pada sebuah Jip, mengikuti rombongan PDRI Awak (Crew) Stasiun Radio tersebut adalah :
1. Opsir Udara M.S. Tamimi sebagai Kepala
2. Sersan Mayor Udara Kusnadi. sebagai Teknisi merangkap Teloegrafis
3. Sersan Mayor Udara R. Oedojo, Telegrafis
4. Kopral Udara Zainal Abidin,Telegrafis Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
5. Letnan Muda Udara III Umar Said Noor, Bagian Sandi
Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
Stasiun Radio Tamimi mengunakan kode pangil (Call Sign) UDO singkatan dari Oedojo. Sering dipakai juga Call Sign KND atau ZAY singkatan dari Kusnadi dan Zainal Abidin. Type sender yang digunakan ialah MK III 19 Set.
24 – 26 Desembar 1948
Rombongan Rasjid tiba di Koto Tinggi, dilengkapi dengan beberapa set perlengkapan Stasiun Radio :
a.Stasiun Radio AURI yang melayani Gubernur Sumatera Barat/Tengah di Koto Tinggi adalah Stasiun Radio ZZ di bawah pimpinan Opsir Muda Udara I M. Jacob dengan ahli telegaf antara lain Zainul Aziz, Soesatyo, Soegianto, Soeryo.
b.Stasiun Radio AURI yang bertugas mulai 22 Desember 1948 sampai 11 November 1948 mengikuti Gubernur Sumatera Barat/Tengah Mr. Rasjid dengan type sender : TCS-10
c.Stasiun Radio yang berpindah-pindah tempat, mulai dari Desa Koto Tinggi, Puar Datar (di sini hampir saja Stasiun Radio ini diketahui olah Belanda yang menyerbu Puar Datar, tetapi berkat kesiagaan dan kegesitan para awak pihak Belanda dapat dikelabui), Sungai Dadok sampai Mudik Dadok. Sebelum memasuki Kota via Piobang, pada tanggal 11 November 1948, Stasiun Radio ini beroperasi di Sungai Rimbang, Stasiun Radio AURI ini mampu berhubungan pula dengan Jawa dan Luar Negeri (India).
d.Stasiun Radio AURI yang melayani Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Koto Tinggi, antara 19 Juni 1949 dan 8 Juli 1949, berakhir saat tokoh ini berangkat ke Yogyakarta.
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berada di Bangkinang. Sewaktu rombongan berada di Bangkinang. Belanda yang mengunakan pesawat-pesawat P-51 menyerang dengan bom.
Stasiun Radio mengirim berita ke Pangkalan Udara Jambi, menyampaikan permintaan PDRI agar pesawat RI 005 PBY (AU) diterbangkan kesalah satu sungai di Riau, ternyata kemudian pada tanggal 29 Desember 1948 ketika Belanda menyerbu Kota Jambi, pesawat yang dimaksud tenggelam di Sungai Batang Hari saat berusaha lepas landas.
27 – 28 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara segera meninggalkan Bangkinang, menuju Tarakan Buluh dan menyeberangi Sungai Kampar untuk meneruskan perjalanan ke Teluk Kuantan. Beberapa sadan ditinggalkan dan ditenggelamkan ke dalam sungai. Setelah melewati beberapa kampong antara lain Lipat Kain dan Muara Lembu, Jip berisi peralatan Sender terbalik, masuk kubangan lumpur beserta seluruh penumpangnya. Penumpang Jip itu adalah Sjafruddin Prawiranegara, Tumimi (yang bertindak sebagai sopir), Oedojo dan Kusnadi. Sjafruddin Prawiranegara kehilangan kacamatanya, untunglah jip beserta peralatan pengirim tidak mengalami kerusakan, meskipun memerlukan waktu sehari semalam untuk dibersihkan dan dikeringkan. Sedangkan Sjafruddin Prawiranegara beruntung mendapatkan kacamata baru dari seorang Dokter yang bertugas di wilayahnya itu.
29 Desembar 1948
Perjalanan diteruskan ke Teluk Kuantan, ditepi Sungai Kuantan mereka menginap. Sementara itu Panglima Kol. Hidayat singah di Koto Tinggi dalam perjalanan cross-country dari Selatan ke Utara Sumatera, hingga ke Aceh. Hidayat mengadakan rapat dengtan Gubernur Rasjid dan mengambil keputusan merombak Pemerintahan Sipil menjadi Pemerintahan Militer. Semua pejabat Gubernur Sipil dan segenap jajarannya dimiliterkan dan semua Wakil Gubernur diangkat dari Tokoh Militer.
30 – 31 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dari Taluk ke Sungai Dareh, semua kendaraan di tinggalkan di Taluk. Pada suatu tempat tertentu antara Taluk dan Sungai Dareh peralatan Sender diangkut melalui hutan dengan Lori bekas Jepang. Penumpang Lori hanya dua orang yaitu : Ir. Indra Tjahja sebagai masinis dan Oedojo (Telegrafis) sebagai penjaga peralatan Sender.
1 Januari 1949
Tahun Baru rombongan menginap selama tiga hari di Sungai Dareh, beristirahat dan merayakan tahun baru. Stasiun Radio sempat mengirimkan Ucapan Selamat tahun Baru kepada seluruh Stasiun Radio AURI di Jawa dan Sumatera yang melayani Pemerintahan Sipilo dan Militer.
3 Januari 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berangkat dari Sungai Dareh ke Bidar Alam via Aabi Siat dan Abai Sangir. Rombongan dibagi menjadi tiga : (1) Rombongan Induk dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara, menempuh jalur Sungai Batang Hari dengan mempergunakan sampan yang digerakan dengan dayung dan galah dari bamboo. (2) Rombongan Keuangan dipimpin oleh Mr. Loekman Hakim (Menteri Keuangan PDRI) menuju Muara Tebo dengan naik perahu bermotor, membawa klise oeang RI Poeloe Sumatera (ORIPS) untuk dicetak di Muaro Bungo. (3) Rombongan Satsiun Radio dipimpin oleh Wakil PDRI Mr. Teuku Hasan, mengambil jalan darat karena takut tenggelam, dengan berjalan kaki menuju Abai (setelah berpisah kurang lebih 2 minggu mereka bertemu kembali di Bidar Alam).
(Keterangan mengenai ORIPS : Mesin Cetak Uang RI Muaro Bungo dirakit oleh anggota-anggota AURI dari Jambi, yang dipimpin Opsir Udara III Soejono, dari bekas mesin cetak biasa. Hasil cetakan ORIPS itu diserahkan kepada Mr. Loekman Hakim, Menteri Keuangan PDRI dan dibagi-bagikan kepada pemerintah setempat di Muaro Bungo).
4 – 5 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio tiba di Abai Siat dan bersiap-siap menuju Abai Sangir ( From Abai to Abai). Beberapa peralatan sender yang tidak begitu penting terpaksa ditinggalkan ditengah perjalanan kerena medan yang ditempuh sangat berat.
7 9 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beristirahat selama kurang lebih satu minggu di Abai Sangir. Ketika rombongan stasiun radio berada di Sangir, rombongan keuangan yang dipimpin Mr. Loekman Hakim sudah tiba di Muara Tebo dan siap-siap melanjutkan ke Bidar Alam. Selama di Abai Sangir, stasiun radio tetap mengudara.
10 Januari 1949
Belanda menyerang Koto Tinggi dari basisnya di Payakumbuh.
15 Januari 1949
Tragedi Situjuh Batur. Rapat Besar Pimpinan Sumatera Barat di Situjuh Batur digrebek Patroli Belanda. Banyak Korban jatuh termasuk beberapa Tokoh Paling Terkemuka di Sumatera Barat (antara lain Ketua MPRD, Chatib Soelaiman) dan Puluhan Prajurit dan BNPK di Nagari itu. Antara lain yang dimakamkan di Situjuh Batur yaitu :
1 CH. SULAIMAN MPRD
2 ARISUN ST. ALAMSYAH BUPATI
3 MUNIR LATIF LETKOL
4 ZAINUDDIN MAYOR
5 TANTAWI KAPTEN
6 AZINAR LAETNA I
7 SYAMSUL BAHRI LETNAN II
8 RUSLI SOPIR
9 SYAMSUDIN PMT
Yang dimakamkan di Situjuh Banda Dalam adalah :
1 M. ZEIN BPNK
2 RAMLI BPNK
3 SYAMSUL KAMAL BPNK
4 KAMASYHUR BPNK
5 NAKUMAN BPNK
6 MANGKUTO BPNK
7 AHMAD BPNK
8 RAJIMAN BPNK
Yang dimakamkan di Situjuh Gadang adalah :
1 RAUDANI LETDA
2 ABDUDIS LETDA
3 AGUS YATIM LETTU
4 AZIS JUNAID LETTU
5 ABAS HASAN SERMA
6 DARUHAN SERMA
7 RASYID SIRIN KOPTU
8 Y. MALIKI BPNK
9 HASAN BASRI BPNK
10 BURHAN BPNK
11 ALI AMRAN BPNK
12 SYAFWANEFF BPNK
13 A. MALIK BPNK
16 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beserta Mr. Teuku Hasan tiba di Bidar Alam, rombongan Sjafruddin Prawiranegara sudah tiba disana terlebih dahulu. Sekitar minggu terakhir Januari 1949, seluruh rombongan secara lengkap sudah berada di Bidar Alam.
17 Januari 1949
Stasiun Radio PDRI berhasil melakukan kontak dengan New Delhi.
21 Januari 1949
Sjafruddin Prawiranegara mengirimkan ucapan selamat kepada Nehru dan peserta Konferensi New Delhi tentang Indonesia.
22 Januari 1949
Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh 19 Delegasi Negara Asia, termasuk Delegasi Peninjau, mengeluarkan Resolusi (Resolusi New Delhi), yang berisi protes terhadap agresi Militer Belanda dan menuntut pengembalian Tawanan Politik (Soekarno-Hatta) dan semua pemimpin Republik ke Yogyakarta.
23 Januari 1949
Mr. Rasjid dari Koto Tinggi, mengirimkan ucapan selamat atas keberhasilan Konferensi New Delhi.
28 Januari 1949
DK-PBB mengeluarkan resolusi tentang masalah Indonesia.
29 Januari 1949
Hubungan PDRI dengan para pemimpin di Jawa mulai dapat dibuka lewat telegram Kol. T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf APRI, yang melaporkan perkembangan di Jawa kepada PDRI Pusat di Sumatera. Laporan ini kemudian pada 12 Februari 1949 disusul dengan laporan Kol. A.H. Nasution kepada Ketua PDRI.
7 Februari 1949
Menteri Kasimo, atas nama KPPD melaporkan perkembangan terakhir di Jawa sebagai tanggapan atas telegram Ketua PDRI, 15 Januari 1949.
8 – 28 Februari 1949
Komunikasi antar Tokoh PDRI di Sumatera dan Jawa dapat diintensifkan sehingga kepemimpinan dan strategi perjuangan menghadapi kekuatan militer Belanda semakin Terkonsolidasi.
Prakrasa perundingan yang disponsori oleh Badan PBB, UNCI, antara para pemimpin yang ditawan di Bangka dengan para petinggi Belanda di Jakrta di bawah pimpinan Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel.
28 Februari – Maret 1949
Serangan balik ke Ibu Kota berdasarkan gagasan cemerlang penguasa tertinggi Republik di Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono. Serangan itu dilaksanakan oleh para prajurit yang bermarkas di sekitar Yogya, dipimpin oleh Letkol Soeharto.
2 – 29 Maret 1949
Kontak antara PDRI di Sumatera dan PDRI di Jawa.
3 Maret 1949
Stasiun Radio Dick Tamimi di Bidar Alam menerima radiogram dari Wonosari tentang serangan 1 Maret 1949 ( 6 jam di Yogya). Radiogram tersebut langsung dikirim keseluruh Satsiun Radio AURI di Sumatera, termasuk Koto Tinggi, Aceh. Kabar itu, oleh Stasiun Radio AURI di Koto Tinggi, dikirimkan pula ke Perwakilan RI di New Delhi melalui surat stasiun radio di India. Berita yang sama juga disebarkan oleh Stasiun Radio AURI di Aceh (belakangan diketahui bahwa stasiun radio AURI tersebut berada di Desa Tangse dan di Kota Kotaraja), yang ternyata mempunyai hubungan dengan Stasiun Radio Angkatan Darat Burma. Atas izin pemimpin AD Burma saat itu, Stasiun Radio Angkatan Darat Burma dapat dipergunakan oleh Opsir Muda Udara III Soemarno untuk berhubungan dengan Stasiun Radio AURI di Aceh. Soemarno, telegrafis, bersama Opsir Udara III Wiweko, penerbangan berada di Burma dalam rangka penerbangan RI Seulawah.
31 Maret 1949
Penyempurnaan Susunan Kabinet PDRI. Keanggotaan Kabinet diperlengkapi dengan para Menteri yang masih aktif di Jawa, termasuk Mr. Maramis, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri PDRI berkedudukan di New Delhi.
1 April 1949
Panglima Besar Soedirman akhirnya memilih menetap di Desa Sobo, setelah mengungsi dan bergerilya sejak mundur dari Yogya, Subuh 19 Desember 1948 dia menetap di Desa itu hingga kembali ke Yogya 10 Juli 1949.
15 – 25 April 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara secara bertahap meninggalkan Bidar Alam menuju Sumpur Kudus, tempat musyawarah besar pimpinan PDRI akan diadakan.
4 Mei 1949
Rombongan Gubernur Militer Mr. Rasjid dari Koto Tinggi dan Mr. Moh. Nasroen, mantan Wakil Gubernur Sumatera Tengah yang diangkat sebagai Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Tengah, tiba di Sumpur Kudus.
5 Mei 1949
Rombongan PDRI Sjafruddin Prawiranegara, secara lengkap tiba di Desa Calau, Sumpur Kudus. Rombongan PDRI meninggalkan Bidar Alam dengan naik perahu dan berjalan kaki melalui desa-desa antara lain Abai Siat, Sungai Dareh, Kiliran Jao, Sungai Betung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Menganti (menginap satu malam) dan akhirnya tiba di Calau, Silantai, Sumpur Kudus.
7 Mei 1949
Pernyataan Roem-Royen di Jakarta, disusul dengan reaksi keras dari pihak oposisi, PDRI dan Panglima Besar Soedirman.
9 Mei 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Calau, menuju ke Sumpur Kudus. Setelah menempuh satu hari perjalanan, rombongan tiba disebuah dataran tinggi. Saat itu anggota rombongan dipecah tiga : Sjafruddin Prawiranegara ke Desa Silangit dan Silantai, Stasiun Radio Sjafruddin ke Desa Guguk Siaur dan rombongan Keuangan ke Desa Padang Aur dam desa-desa lain sekitarnya. Di Daerah Ampalu itu, kru Stasiun Radio AURI bertemu dengan Kru Stasiun Radio PTT di Desa Tamporunggo, Sungai Naning dan desa-desa lain. Sejak saat itu, kegiatan Stasiun Radio Dick Tamimi semakin intensif.
14 – 17 Mei 1949
Sidang Paripurna Kabinet PDRI di Silantai, Sumpur Kudus di daerah Ampalu. Di tempat itu berkumpul semua anggota Kabinet PDRI yang berada di Bidar Alam dan Koto Tinggi, untuk membicarakan reaksi PDRI terhadap prakarsa perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin yang ditawan di Bangka (Pimpinan Soekarno Hatta). PDRI mengeluarkan pernyataan yang menolak prakarsa perundingan kelompok Bangka.
18 Mei – 19 Juni 1949
Sjafruddin tidak kembali ke Bidar Alam, melainkan tetap bersama seluruh anggota rombongan berangkat ke Koto Tinggi.
2 Juni 1949
Sjafruddin melakukan kontak radiogram dengan Hatta, via Kol. Hidayat, Panglima Sumatera yang bermarkas di Aceh.
5 – 10 Juni 1949
Hatta berangkat ke Aceh untuk mencari PDRI
19 Juni – 30 Juli 1949
Stasiun Radio AURI Tamimi (walaupun tanpa Tamimi lagi, karena yang bersangkutan telah ikut ke Koto Tinggi) masih berada di Siaur untuk beristirahat. Mereka ikut berpuasa dan berlebaran di Desa Siaur, pada tanggal 27 juli 1949.
2 – 3 Juli 1949
Utusan Hatta (terdiri dari dr. Leimena, Moh. Natsir dan dr. A. Halim) yang hendak menemui Sjafruddin di Koto Tinggi, tiba di Padang. Setelah menginap satu malam di Hotel Muaro, mereka berangkat dengan konvoi ke Bukittinggi dan seterusnya ke Payakumbuh. Keadaan pada waktu itu belum aman, sehingga kendaraan mereka paling kurang harus berhenti lima kali, karena dicegat oleh Gerilyawan.
6 – 7 Juli 1949
Perundingan antara utusan Hatta dan PDRI berlangsung di Koto Kaciak, Padang Japang Payakumbuh. Setelah melalui perundingan yang alot dan menegangkan, Sjafruddin berhasil diajak kembali ke Yogya, menandai terjadinya rujuk antara PDRI dan kelompok Bangka.
6 – 8 Juli 1949
Rombongan pemimpin dari Bangka tiba di Yogya. Dua hari kemudian utusan Hatta tiba pula di Ibu Kota.
10 Juli 1949
Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogya. Sjafruddin bertindak sebagai Inspektur upacara penyambutan para pemimpin yang kembali ke Yogya.
13 Juli 1949
Sidang Kabinet Hatta pertama sejak Agresi kedua Belanda dengan acara pokok pengembalian Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Soekarno Hatta.
25 Juli 1949
Badan Pekerja KNIP dalam sidang pertama yang dipimpin Mr. Asaat, menyetujui pernyataan Roem Royen, tetapi dengan persyaratan yang diajukan PDRI melalui pengumuman pada 14 Juni. Persyaratan itu adalah : (1) TNI tetap berada di daerah yang didudukinya; (2) Tentara Belanda harus ditarik dari daerah yang didudukinya; (3) Pemulihan Pemerintah RI di Yogyakarta harus dilakukan dengan tanpa syarat.
Sejak itu, babak baru sejarah perjuangan memasuki tahap akhir, hingga menyerahkan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
***
Daftar Pustaka :
Mestika Zed, Somewhere in the Jungle
Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal.335.

Anggota:
Adha Kenang Ismail (01)
Choirul Umam(06)
Mochammad Habibul Adi R. (18)
Rahmat Prasetyo N(25)
Rendy Novyanto W(26)
Rian Aji K (27)
Wahyu Dwi P(32)

Agresi Militer Belanda II

A.    AGRESI MILITER BELANDA II


Serangan dibuka tanggal 19 Desember 1948. Dengan taktik perang kilat (blitkrieg), Belanda melancarkan serangan di semua front di daerah Republik Indonesia. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adi Sucipto) dan dengan gerak cepat berhasil menduduki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, walaupun mereka tahu bahwa dengan demikian mereka akan ditawan oleh musuh. Alasannya, agar mereka dapat melakukan kegiatan diplomasi dengan pihak Belanda. Di samping itu, Belanda tidak mungkin menjalankan serangan secara terus-menerus karena presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia dan wakil presiden menteri pertahanan sudah berada di tangan mereka. Sementara itu, beberapa bulan sebelum Belanda melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta, Jenderal Sudirman (Panglima Besar Angkatan Perang) menderita sakit paru-paru yang sangat parah sehingga harus dirawat di rumah sakit dan kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda menyerang kembali, maka ia akan memegang kembali pimpinan Angkatan Perang dan memimpin prajurit-prajuritnya melakukan perlawanan gerilya.
Titik Balik Agresi Militer Belanda 2
Dalam waktu satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan mulai memberikan pukulan secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu daerah gerilya yang menyeluruh. Tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan. Penghadangan terhadap konvoi perbekalan tentara Belanda berhasil dilakukan. Serangan umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan TNI. Serangan yang paling terkenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta di bawah pimpinan Komandan Brigade X Letnan Kolonel Soeharto. Pasukan I N I berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menolak kerja sama dari Belanda. Sultan mendukung segala tindakan para pemimpin gerilya. Di samping itu, perjuangan dalam rangka menegakkan kedaulatan Republik Indonesia juga dilakukan di luar negeri. Dengan modal sumbangan pesawat rakyat Aceh, W. Supomo membentuk armada udara komersial vang berpangkalan di Myanmar (Burma). Hasil penerbangan komersial itu dijadikan modal untuk membiayai pemakilan Republik Indonesia di luar negeri. Selain itu, dibuka komunikasi radio antara Wonosari, Bukittinggi, Rangoon (sekarang Yangoon), dan New Delhi.
Agresi Militer Belanda 2 ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan. Kegagalan Belanda di medan tempur dan tekanan Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.
B.    PEMBERONTAKAN PKI TAHUN 1948 DI MADIUN

1.    Latar belakang pemberontakan PKI Madiun


Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948, yaitu ditandatanganinya perundingan Renville, ternyata perundingan Renville sangat merugikan Indonesia. Maka Amir Syarifuddin turun dari kabinetnya dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948. Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso tiba dari Moskow, semenjak kedatangan Muso bersatulah kekuatan PKI dan FDR dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin.

Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain :
1.    Melancarkan propaganda anti pemerintah.
2.    Mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
3.    Melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrok senjata di Solo 2 Juli 1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945 Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
4.    Gerakan PKI ini mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. PKI dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin melancarkan pemberontakan yang dipusatkan di Madiun dan sekitarnya. Banyak pejabat pemerintah dan tokoh agama diculik dan dibunuh secara sadis. Mereka dibantai oleh orang-orang PKI di soco Gorang Gareng (Magetan) dan Kresek (Madiun). Muso-Amir Syarifuddin kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Rapublik Soviet Indonesia.




Susunan pemerintah Negara Republik Soviet Indonesia adalah :

Kepala Negara         : Muso

Kepala Pemerintahan         : Amir Syarifuddin.

Panglima Angkatan Perang     : Kol. Joko Suyono.

Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun.

2.    Penumpasan PKI Madiun

Presiden Soekarno dan perdana menteri M.Hatta mengutuk keras pemberontakan PKI di Madiun. Pemerintah segera melancarkan operasi penumpasan dengan GOM (Gerakan Operasi Militer). Panglima Jendral Soedirman kemudian mengeluarkan perintah harian yang isinya antara lain menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono Gubernur Militer Jawa Timur diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan pasukan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun dan sekitarnya. Pasukan Siliwangi digerakkan dari Jawa Tengah. Brigade mobil dan Gabungan Divisi Jawa Timur digerakkan dari Jawa Timur. Pada tanggal 10 September 1948 keadaan Madiun segera dapat dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Muso tewas diponorogo, Amir Syarifuddin tertangkap di Purwodadi.

C.    PERANAN PDRI ( PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA )
Periode tahun 1948-1949 merupakan periode vital dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada periode ini, terjadi serangkaian peristiwa penting yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Situasi nasional saat itu sedang mencekam akibat tindakan agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948 dan disusul dengan ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa tokoh nasional lainnya. Demi mengisi kekosongan pemerintahan dan untuk melawan propaganda Pemerintah Belanda, Menteri Kemakmuran saat itu, Syafruddin Prawiranegara, bersama Teuku Mohammad Hassan kemudian berinisiatif mendeklarasikan terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1948. Pemerintah Darurat Republik Indonesia dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota.
PDRI yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut :
1.    PDRI berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat.
2.    PDRI berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah satu ke daerah yang lain.
3.    PDRI berhasil menjalin hubungan dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India, sehingga terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
4.    Republik Indonesia menjadi memiliki pemerintahan sementara yang berdaulat, sehingga dapat menggalang dukungan internasional.
5.    Menjadi sebuah upaya strategis untuk mencegah disintegrasi bangsa saat itu.
6.    Menjadi suntikan semangat masyarakat dan upaya menggalang kekuatan yang saat itu sedang terpecah-pecah dalam upaya mengusir Belanda.

http://ristyopradana.blogspot.co.id/2013/01/pdri-penggalan-sejarah-kemerdekaan-yang.html
http://sabenggo1.blogspot.com/2014/01/pemberontakan-pki-tahun1948-di-madiun.html
http://www.asal-usul.com/2009/03/peristiwa-dulu-pemberontakan-pki-madiun.html
http://www.idsejarah.net/2015/02/agresi-militer-belanda-ii.html
http://jagosejarah.blogspot.co.id/2014/09/agresi-militer-belanda-2.html
Buku Sejarah Indonesia Kelas XI


Anggota Kelompok 3 :

1)    Annisa Nur Hapsari        ( 05 )
2)    Elisa Devi            ( 08 )
3)    Febriyanti            ( 10 )
4)    Imam Muslimah            ( 15 )
5)    Qorik Aisyiatun L.        ( 23 )
6)    Rafifah Fitriastuti        ( 24 )
7)    Siska Andriyani            ( 30 )
8)    Wida Nurani Afifah        ( 33 )

Komisi tiga Negara Sebagai Mediator Yang Berharga Dan Perjanjian Renville




1.    Komisi Tiga Negara Sebagai Mediator Yang Berharga
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik. Komite ini di kenal sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), Komisi Tiga Negara (KTN), disebut begitu sebab beranggotakan tiga negara, yaitu
a.     Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili oleh Richard C. Kirby
b.    Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh Paul van Zeeland
c.    Amerika Serikat sebagai pihak yang netral menunjuk Dr. Frank Graham.
Tugas KTN                                               
1.    Menguasai dengan cara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB
2.    Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda.
3.    Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI
4.    Mempertemukan kembali Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi, Perundingan Renville ini menyebabkan wilayah RI makin sempit.
Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Dalam pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.

Beberapa perilaku Belanda terhadap Indonesia adalah :
1.    Tanggal 20 Juli 1947, Van Mook (perwakilan Belanda) menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati dan perjanjian gencatan senjata. Penyataan Van Mook itu telah dibuktikan dengan melakukan Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 terhadap Indonesia
2.    Tanggal 29 Juli 1947, pesawat Dakota Palang Merah India ditembak oleh pesawat pemburu Belanda di atas Yogyakarta yang menewaskan Adi Sucipto dan Dr. Abdulrachman Saleh
Kehadiran KTN di Indonesia sangat berarti bagi Indonesia, disamping sabagai fasilitator berbagai perundingan, mengawasi gencatan senjata, hingga dapat mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan H. Agus Salin yang ditawan Belanda di Bangka tanggal 6 Juli 1947

2.    Perjanjian Renville
   Latar belakang munculnya Perjanjian Renville adalah keinginan Belanda untuk terus memperluas wilayah kekuasaanya, yang kemudian dikenal dengan garis demarkasi Van Mook, yaitu garis terdepan dari pasuka Belanda setelah Agresi Militer sampai perintah genjatan senjata sampai Dewan Keamanan PBB tanggal 4 Agustus 1947.
   Untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda maka dibentuklah komisi jasa baik yaitu Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara yaitu Belgia, Amerika, dan Australia:
a.    Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
b.    Australia diwakili oleh Richard Kirby
c.    Amerika Serikat diwakili oleh Frank Graham
   Komisi tiga negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Tujuannya untuk membantu Indonesia-Belanda menyelesaikan konflik. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di gelaak Kapal Renvillemilik Amerika Serikat . Indonesia dan Belanda menerima tawaran tersebut. Akhirnya KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI dimeja perundingan yaitu di Kapal Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir Syarifuddin. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. KTN sebagai penengah perundingan.

Isi Persetujuan Renville :
·         Belanda tetap berkuasa sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat
·         RI sejajar kedudukannya dengan Belanda dalam Uni Indonesia Belanda
·         Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaanya kepada pemerintah federal sementara.
·         RI merupakan negara bagian dalam RIS
·         Dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk konstituante RIS
·         Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda harus dipindahkanke daerah RI
   Sebenarnya banyak pemimpin negara RI menolak persetujuan Renville tersebut tetapiakhirnya mereka bersedia menyetujui. Hal tersebut dikarenakan adanya pertimbangan sebagai berikut :
a.    Persediaan amunisi yang menipis
b.    Adanya kepastian bahwa penolakan berarti serangan baru dari pihak Belanda secara lebih hebat
c.    Bagi TNI, hasil perundingan ini menyebabkan seju lah wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun harus ditinggalkan.
d.    Munculnya berbagai ketidakpuasan akibat perundingan ini
e.    Sementara itu Belanga membentuk negara-negara bonekanya yang terhimpun dalam organisasi BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang disiapkan untuk pertemuan musyawarah federal.
   Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook, dimana wilayah Republik Indonesia meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda, harus ditari masuk ke wilayah RI.
           

                                                                 

Peta wilayah RI menurut perjanjian Renville

Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan sehinggamuncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syariffudin dan pada tanggal 23 Januari 1948, Amir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. Dengan demikian Perjanjian Renville menimbulkan permasalahan baru, yaitu pembentukan pemerintahan peralihan yang tidak sesuai dengan ynag terdapat dalam Perjanjian Linggajati.
tugu Demarkasi yang ada                                                                       tugu Demarkasi yang ada
di Lubuk Alung, Padang Pariaman                                                    di nagari Siguntur Pesisir Selatan                                                                                          
  




   Kelompok 2 :


Adha Kenang Ismail (01)
Ainun Safitri (02)
Alfi Khasanah (03)
Galih Tama Ramadhani (11)
Irzat Roni Wijaya (16)
Nurfatika Sekar Wardhani (21)
Paradatu Anugra Riyanto (22)
Safitri Anis Setya Panarima (29)
Umi Salamah A.(31)